Kontrak Kuliah
1, Kehadiran minimal 75% dari total pertemuan
2. Wajib menghadiri Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS)
3. Tugas yang diberikan adalah per kelompok dan presentasi. (Topik dan pembagian kelompok akan ditentukan kemudian). Pengumpulan paper dimulai 2 (dua) minggu setelah UTS
4. Kuliah sementara dilaksanakan via e-learning, menyusul merebaknya virus Corona (COVID-19) di Indonesia), sampai batas waktu yang ditentukan oleh UIN SU.
Silabus
1. Masyarakat dan Hukum
2. Hukum Kontrak / Hukum Perjanjian
3. Wanprestasi (Cidera Janji)
4. Bentuk-bentuk Perusahaan: Firma dan CV
5. Bentuk-bentuk Perusahaan: Perseroan Terbatas (PT)
6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
HUKUM DAN MASYARAKAT Setiap
orang dilahirkan sebagai makhluk individu. Individu adalah seorang manusia yang
khas, ia mempunyai kemampuan dan kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Untuk mengembangkan kemampuan dan memenuhi kebutuhannya, ia tidak bisa
berdiri sendiri, ia membutuhkan orang lain. Karena itulah ia hidup berkelompok membentuk masyarakat. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Aristoteles (384-322 SM), bahwa manusia itu adalah zoon politicon. Manusia selalu ingin
bergaul dan berkumpl dengan sesama manusia lainnya. Jadi, manusia adalah
makhluk yang suka bermasyarakat, dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul
satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Setiap individu dalam
masyarakat mempunyai kedudukan dan peranan yang berbeda, sehingga memungkinkan
untuk saling bekerja sama, saling membentuk, saling mendukung untuk mencapai
tujuan bersama. Individu senantiasa berhubungan dan berinteraksi dengan
individu lainnya. Dalam melakukan hubungan tersebut mereka saling mempengaruhi
dan saling menyesuaikan diri, sehingga timbul proses sosial. Proses sosial yang
terus berlanjut dan teratur akan menyebabkan perubahan sosial budaya dalam
kelompok. Individu merupakan
sebutan yang dapat dipakai untuk menyebut kesatuan yang paling kecil dan
terbatas. Untuk menyebut individu, sering digunakan “orang seorang” atau
“perorangan”. Sebagai individu, manusia merupakan suatu sistem yang terdiri
dari subsistem jasmani dan subsistem rohani. Proses pembentukan individu
menjadi pribadi dipengaruhi faktor kepribadian dan faktor lingkungan. Faktor
kepribadian berupa potensi fisik-biologis dan potensi mental-psikologis yang
dimiliki satu individu. Kedua potensi ini dibawa seseorang sejak lahir. Namun
demikian, faktor lingkungan pun memberikan pengaruh yang besar bagi
perkembangan pribadi suatu individu. Manusia sebagai
individu, walaupun ia sudah mencapai usia dewasa, tidak akan bisa mencukupi
semua kebutuhan hidupnya oleh diri sendiri. Ia membutuhkan orang lain, sehingga
timbul rasa saling ketergantungan di antara individu tersebut. Dengan demikian,
seorang manusia tidak hanya berkedudukan sebagai makhluk individu, melainkan
juga sebagai makhluk sosial, karena individu hidup dalam suatu masyarakat, baik
dalam lingkungan masyarakat kecil maupun masyarakat luas. Masyarakat adalah
setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama,
sehingga mereka dapat mengetahui diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai
satu kesatuan. A.
Manusia
Selaku Makhluk Individu Individu adalah
seseorang atau seorang manusia secara utuh. Utuh di sini diartikan sebagai
suatu sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, yakni satu kesatuan antara aspek
jasmaniah dan rohaniah yang melekat pada diri seseorang. Setiap individu
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan individu lainnya, seperti bentuk fisik,
kecerdasan, bakat, keinginan, perasaan, dan memiliki tingkat pemahaman atau
arti tersendiri terhadap suatu objek. Jadi individu adalah kondisi internal
dari seorang manusia yang berfungsi sebagai subjek Manusia selaku individu
mempunyai tiga naluri dasar, yaitu:[1] 1.
Naluri untuk mempertahankan kelangsungan
hidup Naluri untuk mempertahankan hidup
telah menimbulkan berbagai kebutuhan. Salah satu kebutuhan yang paling mendasar
adalah kebutuhan fisiologis yang terdiri dari makan, minum dan perlindungan.
Semua kebutuhan tersebut didapat dari lingkungan di mana manusia tinggal, dan
dalam memanfaatkan lingkungan tersebut membutuhkan teknologi. Teknologi dapat diartikan sebagai
cara-cara atau alat yang dipergunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Jadi teknologi tidak hanya mencakup peralatan modern atau mesin saja.
Panah untuk berburu, bertani, berpindah-pindah, dan alat atau cara sederhana
lain termasuk ke dalam teknologi. Kebutuhan manusia sangat beragam, dan
kebutuhan ini lebih mudah dipenuhi jika individu hidup berkelompok dengan
individu lainnya. 2.
Naluri untuk mempertahankan kelanjutan
keturunan Naluri untuk mempertahankan
keturunan menuntut adanya kebutuhan akan rasa aman (safety need), baik dari gangguan cuaca yang tidak nyaman, binatang
liar, ataupun gangguan dari manusia lainnya. Pakaian yang dibuat dari berbagai
jenis bahan dan model disesuaikan dengan kondisi cuaca. Perumahan dengan
bermacam-macam bahan dan juga bentuk, pada dasarnya adalah usaha untuk
memperoleh rasa aman dari berbagai gangguan. Adapun keanekaragaman bahan dan
model yang dipergunakan sangat tergantung pada lingkungan. Perkawinan, selain untuk memenuhi
kebutuhan biologis manusia, juga merupakan cerminan dari adanya ketergantungan
individu terhadap individu lain dan adanya naluri untuk meneruskan keturunan. 3.
Naluri keingintahuan dan mencari
kepuasan Setiap manusia mempunyai naluri
ingin tahu tentang sesuatu yang ada di sekitarnya, baik itu lingkungan alam
maupun lingkungan manusia lainnya. Adanya perbedaan alam seperti daratan,
perbukitan, pegunungan, perbedaan persebaran tumbuhan dan hewan, perbedaan
fisik manusia, perbedaan budaya manusia, perbedaan dalam cara berpakaian,
perbedaan dalam mata pencaharian, bentuk rumah, dan sebagainya, semua itu telah
mendorong manusia untuk mencari tahu. Rasa ingin tahu ini melahirkan sistem
pengetahuan, yang kemudian disusun menjadi sistematis melalui aturan-aturan tertentu
sehingga melahirkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini pada dasarnya adalah
untuk memenuhi kebutuhan spiritual atau batin manusia. Sedangkan penerapan ilmu
pengetahuan dalam bentuk, cara dan alat untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
disebut “teknologi”. Jadi, teknologi adalah berbagai cara atau alat untuk
memenuhi kebutuhan material manusia. Keduanya tidak dapat dipisahkan untuk
menunjang dan memenuhi kebutuhan manusia, baik selaku individu maupun
masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki individu tidak
seluruhnya hasil dari pengalaman sendiri, tapi lebih banyak dari proses belajar
dan meniru dari orang lain. Karena itu, dalam memenuhi naluri ingin tahu dan
mencari kepuasan ini pun tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berkelompok. B.
Manusia
Selaku Makhluk Sosial Walaupun individu
adalah satuan yang berdiri sendiri dan memiliki kemampuan serta kebutuhan yang
tersendiri pula. Namun dalam usaha memenuhi kebutuhan dan mengembangkan
kemampuan yang dimilikinya, suatu individu tidak dapat melakukannya sendiri. Ia
selalu membutuhkan individu lain. Ketergantungan individu terhadap individu
lain sangat tinggi. Sejak ia dilahirkan sampai meninggal membutuhkan bantuan
orang lain. Manusia adalah makhluk
yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada
masa bayi, sepenuhnya manusia tergantung kepada individu lain. Ia belajar
berjalan, belajar makan, belajar berpakaian, belajar membaca, belajar membuat
sesuatu, dan sebagainya. Bantuan orang lain yang lebih dewasa dalam hal-hal
demikian sangat dibutuhkan. Semakin sering dan semakin rajin belajar, maka
semakin berkembang kemampuan yang dimiliki oleh suatu individu. Ketika individu
itu beranjak dewasa, tingkat ketergantungannya kepada individu lain semakin
berkurang, akan tetapi tidak hilang sama sekali. Sepintar apa pun suatu
individu, pada dasarnya ia tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya dengan cara
memproduksi sendiri. Ia membutuhkan individu lain di mana ia bisa menjual
kepandaiannya dan juga membeli untuk memenuhi kebutuhannya dari individu lain.
Oleh karena itu, timbullah pertukaran barang dan jasa. Malinowski, salah
seorang tokoh ilmu antropologi dari Polandia menyatakan bahwa ketergantungan
individu terhadap individu lain dalam kelompoknya dapat terlihat dari usaha-usaha
manusia dalam memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialnya yang
dilakukan melalui perantaraan kebudayaan.[2]
Sebagaimana halnya seorang manusia membutuhkan makanan, maka ia pun memerlukan
pengetahuan tentang alat-alat yang dipergunakan untuk memperoleh makanan. Dalam
hal ini sistem pengetahuan diperlukan. Sistem pengetahuan ini tidak selamanya
hasil pengalaman sendiri, karena bisa dilakukan dengan proses belajar dan
mencontoh atau meniru dari orang lain yang lebih dulu mengetahuinya. Dengan belajar
dan meniru, ia dapat menghasilkan berbagai alat yang berdaya guna dan berhasil
guna tinggi. Perkawinan selain mensahkan hubungan biologis dua individu yang
berjenis kelamin berbeda menurut budaya masyarakat tertentu, juga dapat
berfungsi sebagai wahana penerus keturuhan (reproduksi). Dalam keluarga
terlihat hubungan kasih saying, rasa memiliki, melindungi, pembelajaran
terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam keluarga terjalin
hubungan sosial, ekonomi dan politik, sehingga keluarga merupakan unit terkecil
masyarakat yang satu sama lain saling terikat. Rasa aman secara khusus
tergantung kepada adanya sistem perlindungan dalam rumah, pakaian dan
peralatan. Perlindungan secara umum dalam pengertian gangguan ataupun kelompok
lain akan lebih mudah diwujudkan kalau manusia berkelompok. Untuk menghasilkan
keamanan dan kenyamanan hidup berkelompok ini, diciptakan aturan-aturan dan
kontrol-kontrol sosial tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan
oleh setiap anggota kelompok. Selain itu ditentukan pula siapa yang berhak
mengatur kehidupan kelompok untuk tercapainya tujuan bersama. Manusia adalah makhluk
sosial. Sosial beraasal dari kata socius,
yang artinya “kawan”. Kawan dalam ilmu sosiologi tidak hanya diartikan sebagai
teman bekerja sama, tetapi juga lawan. Jadi, semua orang yang dapat
mempengaruhi atau mengundang reaksi orang lain untuk berperilaku diartikan
sebagai kawan. Dalam hidup dan
perkembangannya, baik langsung maupun tidak langsung, manusia membutuhkan karya
dan jasa orang lain. Manusia mempunyai emosi atau perasaan, dan perasaan ini
perlu ditanggapi atau direspon oleh orang lain. Seperti rasa suka, duka,
senang, disukai, rasa memiliki, kasih saying, marah, dan sebagainya. Manusia
baru mempunyai makna atau arti dalam hidup jika ia hidup berkelompok dengan
orang lain. C.
Masyarakat Masyarakat dalam bahasa
Inggris disebut society, artinya
sekelompok manusia yang hidup bersama, saling berhubungan dan mempengaruhi,
saling terikat satu sama lain, sehingga melahirkan kebudayaan yang sama.
Pengertian sekelompok manusia di sini tidak mempunyai batas yang jelas harus
berapa orang, akan tetapi jumlahnya minimal harus dua orang. Ralph Linton, seorang
ahli antropologi, mengartikan masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah
hidup dan bekerja sama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka
sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang telah dirumuskan dengan
jelas[3].
Herkovits, ahli antropologi yang lain, mengartikan masyarakat sebagai
sekelompok individu yang tersusun mengikuti suatu cara hidup tertentu[4].
Selanjutnya, Selo Soemardjan, seorang sosiologi Indonesia, mengartikan
masyarakat sebagai orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan[5].
Anderson dan Parker menyebutkan secara rinci bahwa masyarakat adalah sebagai
berikut:[6] 1.
adanya sejumlah orang; 2.
tinggal dalam suatu daerah tertentu; 3.
mengadakan hubungan satu sama lain; 4.
saling terikat satu sama lain karena
mempunyai kepentingan bersama; 5.
merupakan suatu kesatuan, sehingga
mereka mempunyai perasaan solidaritas; 6.
adanya saling ketergantungan; 7.
masyarakat merupakan suatu sistem yang
diatur oleh norma-norma dan aturan-aturan tertentu; dan 8.
menghasilkan kebudayaan. Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang telah cukup
lama bergaul dan mengikuti tata cara yang sama sehingga merupakan satu
kesatuan. D.
Status
dan Peran Individu dalam Masyarakat Setiap individu dalam
masyarakat mempunyai peran (role) dan
kedudukan (status) yang berbeda-beda. Mengingat setiap individu mempunyai
kepentingan yang beragam, maka setiap individu dapat berperan dan berstatus di
beberapa kelompok sesuai dengan kepentingannya itu. Setiap individu harus
berperilaku dan berperan sesuai dengan kedudukannya agar ia dapat diterima dan
diakui keberadaannya. Oleh karena setiap organisasi mempunyai aturan sendiri,
maka sanksi yang diberikan oleh setiap organisasi kepada anggota yang melanggar
pun berbeda pula. Sanksi ini bertujuan untuk menjaga keutuhan, keseimbangan,
dan kestabilan kelompoknya, sehingga tujuan kelompok dapat tercapai. Dalam kehidupan
sehari-hari, setiap orang mempunyai peran dan tugas yang berbeda-beda, akan
tetapi masing-masing saling membutuhkan, saling bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama. Dengan demikian, peran dan kedudukan sangat penting untuk
menjaga keseimbangan dan integritas sosial. Kedudukan atau status
seseorang dalam masyarakat ada dua macam: 1.
Ascribed
status,
yaitu kedudukan yang diperoleh tanpa melalui perjuangan atau usaha sendiri.
Biasanya diperoleh melalui kelahiran, seperti seseorang yang bergelar raden,
otomatis anaknya juga akan bergelar raden. Seorang anak yang berasal dari kasta
Sudra dalam masyarakat Hindu, akan tetap berkasta Sudra walaupun ia mempunyai
kepintaran dan keterampilan yang tinggi. Status ini sering pula disebut sebagai
status yang tertutup, karena setiap orang tidak bisa menjadi anggota secara
bebas. Perkawinan biasanya adalah cara yang dipergunakan untuk masuk ke dalam
status ini. 2.
Achieved
status, yaitu kedudukan yang diperoleh melalui usaha atau
perjuangan sendiri. Seseorang menjadi pegawai negeri sipil karena ia berhasil
masuk dan lulus dalam ujian penerimaan pegawai negeri sipil. Status ini
bersifat terbuka, artinya setiap orang dapat meraihnya karena kemampuan
masing-masing individu dalam berprestasi. Setiap status dan
kedudukan mempunyai seperangkat ciri yang dapat mencerminkan statusnya.
Misalnya, seorang dosen tercermin dari sikap dan pakaian yang rapi, serta
buku-buku yang ada dalam tangannya. Banyak ciri yang mencerminkan status atau
kedudukan seseorang dalam masyarakat. Dengan demikian, status dapat disebabkan
oleh posisinya dalam pekerjaan, pemilikan kekayaan, agama, dan faktor biologis. E.
Golongan-golongan
dalam Masyarakat Dalam masyarakat
terdapat berbagai golongan, misalnya kelompok-kelompok pelajar/mahasiswa di
sekolah/perguruan tinggi, kelompok-kelompok yang timbul karena hubungan
keluarga, perkumpulan, dan sebagainya. Timbulnya
golongan-golongan dalam masyarakat itu disebabkan antara lain suatu individu
merasa tertarik dengan individu tertentu, atau merasa mempunyai kesukaan yang
sama dengan individu lain, atau merasa memerlukan kekuatan dan/atau bantuan
individu lain, atau mempunyai hubungan kedaerahan dengan individu lain, atau mempunyai
hubungan kerja dengan individu lain, dan sebagainya.[7] Sifat dan jenis
golongan dalam masyarakat itu bermacam-macam, bergantung kepada dasar dan
tujuan hubungan dari individu-individu yang tergabung dalam satu golongan. Pada
dasarnya ada tiga macam golongan besar, yakni:[8] 1.
Golongan berdasarkan hubungan
kekeluargaan (perkumpulan keluarga). 2.
Golongan berdasarkan hubungan
kepentingan/pekerjaan, perkumpulan ekonomi, serikat kerja, perkumpulan sosial,
perkumpulan keseninan, perkumpulan olahraga, dan lain-lain. 3.
Golongan yang berdasarkan hubungan
tujuan/pandangan hidup atau ideologi, partai politik, perkumpulan keagamaan,
dan yang sejenisnya. Dalam suatu masyarakat,
kerapkali terjadi kerjasama antara golongan yang satu dengan golongan yang
lain, misalnya antara golongan penghasil
(produsen) barang dan golongan pembeli (konsumen) antara golongan pengajar
(guru, dosen) dengan golongan pelajar (siswa, mahasiswa), dan sebagainya. F.
Bentuk
Masyarakat Masyarakat sebagai
bentuk pergaulan hidup memiliki bermacam-macam bentuk, antara lain:[9] 1.
Bentuk masyarakat berdasarkan hubungan
yang diciptakan para anggotanya, seperti: a. masyarakat
paguyuban (gemeinschaft), apabila
hubungan itu bersifat kepribadian dan menimbulkan ikatan batin. Misalnya rumah
tangga, perkumpulan ahli waris, dan sebagainya; b. masyarakat
petembayan (gesellschaft), apabila
hubungan itu bersifat non-kepribadian dan bertujuan untuk mencapai keuntungan
kebendaan. Misalnya firma, perseroan komanditer, perseroan terbatas, dan
lain-lain. 2.
Bentuk masyarakat berdasarkan sifat
pembentukannya, yaitu: a. masyarakat
yang teratur oleh karena sengaja diatur untuk tujuan tertentu. Misalnya
perkumpulan olahraga; b. masyarakat
yang teratur tetapi terjadi dengan sendirinya, oleh karena orang-orang yang
bersangkutan mempunyai kepentingan bersama. Misalnya para penonton bioskop,
penonton pertandingan sepak bola, dan sebagainya; c. masyarakat
yang tidak teratur. Misalnya para pembaca suatu surat kabar. 3.
Bentuk masyarakat berdasarkan hubungan
kekeluargaan, rumah tangga, sanak saudara, suku, bangsa, dan sebagainya. 4.
Bentuk masyarakat berdasarkan perikehidupan/kebudayaan,
misalnya: a. masyarakat
primitif dan modern; b. masyarakat
desa dan masyarakat kota; c. masyarakat
teritorial, yang anggota-anggotanya bertempat tinggal dalam satu daerah
tertentu; d. masyarakat
genealogis, yang anggota-anggotanya mempunyai pertalian darah (keturunan); e. masyarakat
teritorial-genealogis, yang anggota-anggotanya bertempat tinggal dalam satu
daerah tertentu dan mereka juga adalah satu keturunan. G.
Masyarakat
dan Hukum Tiap manusia mempunyai
sifat, watak, dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat, manusia
mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong-menolong,
bantu-membantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tiap manusia mempunyai
kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Seringkali kebutuhan itu sama dan
searah dengan manusia lainnya, sehingga dengan kerjasama, tujuan manusia untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan yang sama itu akan lebih mudah dan lebih
cepat tercapai. Namun, seringkali pula
kepentingan dan kebutuhan tiap manusia itu berlainan, bahkan bertentangan satu
dengan lainnya. Hal ini dapat menimbulkan konflik yang mengganggu keserasian
hidup bersama. Dalam hal ini, golongan yang kuat lazim menindas golongan yang
lemah dalam masyarakat, demi menekankan kehendaknya. Apabila
ketidakseimbangan hubungan individu-individu dalam masyarakat yang meningkat
menjadi perselisihan ini dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan dalam
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur,
individu anggota masyarakat harus memperhatikan kaedah-kaedah, norma-norma
ataupun peraturan-peraturan hidup tertentu yang ada dan hidup dalam masyarakat
di mana ia hidup. Dengan sadar atau
tidak, manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat,
dipengaruhi oleh peraturan-peraturan hidup bersama yang mengekang hawa nafsu
dan mengatur hubungan antar individu. Peraturan-peraturan hidup itu memberikan
panduan mengenai apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, dan
perbuatan mana yang harus dihindari. Peratura hidup ini memberi petunjuk kepada
individu bagaimana ia harus bertindak di dalam masyarakat. Peraturan-peraturan
yang hidup dalam masyarakat ini ada yang bersifat menegur dan mengatur/memaksa.
Peraturan-peraturan ini biasanya diserahkan kepada golongan pemimpin dalam
masyarakat yang bersangkutan, untuk merumuskannya, baik dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis. Peraturan-peraturan dalam masyarakat inilah yang
kemudian disebut dengan “hukum”. Hukum merupakan sebuah
sistem yang sangat kompleks. Keterkaitan antar unsur dalam sebuah sistem tidak
dapat dipisahkan. Sebuah sistem mengharuskan segala sesuatu menjadi saling
keterkaitan. Unsur yang satu akan mempengaruhi unsur yang lainnya. Sebuah
sistem tidak akan berjalan jika di antara unsurnya tidak terjadi sinkronisasi,
koordinasi dan harmonisasi. Bagi
kaum non-dogmatif, hukum bukan sekedar undang-undang. Eugene Erlich mengatakan
bahwa hukum tergantung pada penerimaan umum, dan bahwa setiap kelompok
menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing terkandung
kekuatan kreatif.[10] Begitu
juga dalam pandangan realisme, hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari
penguasa Negara, sebab hukum dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh
berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial
dalam kehidupan bersama dalam suatu masyarakat dan negara. Hukum pada dasarnya
tidak steril dari subsistem kemasyarakatannya. Politik seringkali melakukan
intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga muncul pertanyaan
tentang sistem mana antara hukum dan politik yang lebih suprematif.[11] Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, paling tidak ada tiga macam penjelasan. Pertama,
hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik harus
tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena
hukum merupakan hasil dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
dan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem
kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya, seimbang
antara satu dengan yang lainnya. Menurut
Soerjono Soekanto, hukum mempunyai tiga dimensi, yaitu sebagai nilai, kaidah
dan perikelakuan. Oleh karena itu, hukum dapat dilihat dan dikaji dari berbagai
sudut. Hukum sebagai nilai akan dikaji oleh filsafat hukum dan psikologi hukum.[12]
Dengan metode sejarah, akan diteliti perkembangan hukum dari awal sampai
terjadinya himpunan kaidah-kaidah hukum tertentu. Kemudian hukum tadi
dibanding-bandingkan dengan hukum yang berlaku di masyarakat-masyarakat
lainnya, untuk mendapatkan persamaan dan perbedaan. Itu semua merupakan objek
penelitian dari sejarah hukum dan ilmu perbandingan hukum. Ilmu hukum juga meneliti
aspek-aspek yang tetap dari suatu struktur hukum, aspek-aspek mana dapat
dianggap sebagai inti atau dasar dari hukum.[13] Pada hakikatnya, hukum
merupakan salah satu produk manusia dalam membangun dunianya, yang bisa
dicermati dan ditelaah melalui interaksi yang berlangsung di masyarakat.
Seperti apa yang dikatakan Cicero, ubi
societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. [14]
Soediman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa “hukum” itu sebenarnya adalah
manusia, dalam artian hukum itu dilahirkan oleh manusia dan untuk menjamin
kepentingan dan hak-hak manusia itu sendiri. Hukum adalah cerminan dari manusia
yang hidup, dan karena manusia yang hidup oleh Tuhan senantiasa dilengkapi
dengan raga, rasa, rasio, dan rukun, keempat hal inilah yang dipakai untuk
membedakan antara individu yang satu dengan yang lain, masyarakat yang satu
dengan yang lain, sehingga kelengkapan ini yang mempengaruhi pemberian arti
terhadap hukum dan peranannya dalam hidup bermasyarakat.[15] Hukum
yang terbentuk itu kemudian dijadikan sebagai kontrol sosial di masyarakat
tersebut. Hukum sebagai kontrol sosial merupakan aspek yuridis normatif dari
kehidupan sosial masyarakat, atau dapat diseebut sebagai pemberi definisi dari
tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya, seperti perintah-perintah
dan larangan-larangan. Selain itu, hukum juga berfungsi menetapkan tingkah laku
yang baik dan tidak baik atau yang menyimpang dari hukum, serta menerapkan
sanksi hukum terhadap orang yang berperilaku tidak baik tersebut, guna
tercapainya ketenteraman dan kemakmuran di masyarakat.[16] Ketidakmampuan
hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial di luar hukum akan berakibat pada
kewibawaan hukum itu sendiri. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada hukum
untuk dapat menyelesaikan konflik dan sengketa dalam lingkungan hidupnya. Sikap
apriori masyarakat terhadap hukum dan krisis kepercayaan mereka kepada aparat
penegak hukum mengakibatkan tindakan pelampiasan dengan cara main hakim sendiri
dalam menangani masalah-masalah di tengah-tengah mereka, sehingga hukum itu
dapat dikatakan tidak berfungsi (mandul). Satjipto
Rahardjo pernah mengungkapkan bahwa hukum mengalami kemandulan. Pengertian
“mandul” di sini adalah bahwa ilmu hukum tidak dapat mendukung arah perubahan
masyarakat, dan dengan demikian tidak membantu usaha-usaha produktif yang
sedang dijalankan oleh masyarakat. Ilmu hukum tidak peka lagi terhadap proses
sosial dalam masyarakat. Masyarakat telah banyak memilih jalur-jalur di luar
hukum untuk memecahkan permasalahan, konflik dan sengketa sosialnya.[17] Lebih
lanjut, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum adalah institusi normatif. Ia
akan kehilangan fungsinya apabila tidak bisa tampil dalam kekuatannya yang
demikian, yakni menundukkan perilaku masyarakat ke bawah otoritasnya. Tentu
saja pemaksaan normatif itu memberikan hasil-hasil yang relatif. Ada bangsa
yang sangat patuh kepada hukumnya, ada yang setengah patuh, dan macam-macam
gradasi lainnya.[18] Dalam
perkembangannya, para ahli hukum Indonesia kerap kali mempertanyakan kembali
jarak antara law in books (hukum
sebagaimana yang tertera di dalam literatur-literatur) dengan law in action (hukum sebagaimana yang
nyata di dalam masyarakat). Hal ini bukanlah persoalan yang bisa diselesaikan
dengan mudah, dan memerlukan kerjasama yang serasi dan selarah antara ilmu
hukum dan ilmu sosiologi, yang kemudian disebut sebagai aliran sosio-yuridis. H.
Hukum
dan Pemberlakuannya dalam Kehidupan Bermasyarakat Masyarakat dunia
dibayang-bayangi oleh atmosfir global yang membawa mereka ke dunia tanpa batas
(borderless world), sekaligus juga
masih harus berhadapan dengan permasalahan-permasalahan sosial di negara
masing-masing. Dalam dinamika perkembangannya, permasalahan-permasalahan sosial
tersebut mengakibatkan pembentukan ciri khas hukum dan pengembangan hukum
praktis oleh aparat birokrasi pemerintahan dan para praktisi hukum jauh dari
kenyataan, seolah-olah hukum berada di dunia yang berbeda dengan masyarakat
yang ingin diaturnya. Dengan kata lain, ada jarak di antara hukum dengan
realitas-realitas sosial yang ada di masyarakat. Sebagai akibatnya, hukum tak
mampu menjawab persoalan-persoalan yang diajukan kepadanya.[19] Secara nyata, ilmu
hukum yang diemban di Indonesia sebagaimana diajarkan di pendidikan-pendidikan
tingggi hukum dan yang dipraktekkan oleh para praktisi hukum, baik pemerintah
maupun swasta, masih cenderung berparadigma positivistik seperti ajaran yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen, yang menurut beberapa pakar, tidak sesuai lagi
dengan perkembangan masyarakat.[20] Namun demikian, menurut
Soediman Kartohadiprodjo, hukum itu ada untuk mewujudkan keadilan di samping
ketertiban masyarakat. Unsur keadilan yang meresapi seluruh bidang hukum
terwujud pada penilaian manusia dalam pergaulan hidup. Penilaian adil dan
tidaknya suatu perbuatan atau perilaku ditentukan oleh pandangan manusia sesuai
dengan pandangan hidup yang dianut dan masyarakatnya. Tata hukum dan cara
berpikir yuridis sangat ditentukan oleh pandangan hidup masyarakat.[21]
Oleh karena itu, cara berpikir yuridis yang diajarkan di Indonesia sering dipengaruhi
oleh cara pandangan bangsa Barat (Belanda) mengenai hukum. Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan bahwa pendidikan hukum kolonial Belanda diimplementasikan oleh para
praktisi hukum Indonesia yang diperoleh melalui jalur pendidikan hukum yang
juga merupakan warisan kolonial. Pendidikan hukum kolonial di Indonesia zaman
dahulu hanya untuk mengawaki tata hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
kolonial pada waktu itu, dan sebagai penopang ekonomi negara induk.[22]
Padahal seharusnya para praktisi hukum di negara berkembang antara hukum dan
faktor-faktor pembangunan, norma-norma sosial dan institusi. Menurut Satjipto
Rahardjo, pendidikan hukum seperti ini pada akhirnya menghasilkan
sarjana-sarjana yang menguasai kemahiran sebagai tukang, yaitu ahli hukum yang
hanya mampu dan mahir menerapkan dan menafsirkan hukum positif belaka.[23] Pada dasarnya,
teori-teori sosio-yuridis bertitik tolak pada anggapan dasar bahwa hukum tidak
akan dapat dipahami tanpa mempertimbangkan realitas kehidupan sosial. Sejak
permulaan abad ke-20, para ahli hukum maupun ilmu-ilmu yang berkaitan
melontarkan gagasan-gagasan yang mencerminkan pengaruh kuat dari ilmu-ilmu
sosial terhadap analisa perkembangan hukum. Albert Venn Dicey
menyebutkan pembentukan hukum perundang-undangan dengan cara menghubungkannya
dengan kekuatan pendapat umum. Menurut Dicey, proses tersebut dimulai dengan
suatu gagasan baru yang orisinil. Akan tetapi, Dicey beranggapan bahwa para
legislator harus mencerminkan pendapat umum serta bersikap sesuai dengan
pendapat umum.[24] Oliver Wendell Holmes
berpendapat bahwa suatu kewajiban hukum adalah suatu prediksi bahwa apabila
seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan dijatuhi sanksi negatif
oleh pengadilan. Pendekatan pragmatis terhadap hukum harus didasarkan pada sudut
pandang orang yang menyeleweng terhadap hukum tersebut. Orang yang demikian
sama sekali tidak memperhatikan prinsip-prinsip moral maupun ajaran-ajaran
hukum yang bersifat abstrak. Hal yang sebenarnya sangat penting adalah, apa
yang akan diperbuat pengadilan di dalam kenyataannya. Holmes juga menyatakan
bahwa pendapat tentang kemutlakan kepastian hukum adalah sama sekali tidak
benar.[25] Peranan dari struktur
pengadilan, komposisi para hakim, jalannya persidangan, bidaya yang diperlukan,
dan sebagainya, disadari ataupun tidak, merupakan hal-hal yang mempengaruhi
kepastian hukum tersebut. Seorang hakim dan pembuat undang-undang, dalam
melaksanakan tugasnya juga dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperti suasana
politik, status ekonomi, ataupun unsur-unsur psikologis. Dalam hal jalannya
suatu persidangan/peradilan, media massa juga bisa mempengaruhi jalannya
persidangan tertentu. Hukum mewujudkan
dirinya lewat keputusan hakim dan peraturan perundang-undangan di dalam suatu
masyarakat seperti masyarakat Indonesia. Penerapan keputusan hakim dan
peraturan perundang-undangan ini merupakan salah satu usaha untuk mengetahui
apakah hukum tersebut benar-benar berfungsi atau tidak di masyarakat. Suatu
peraturan perundang-undangan dikatakan belum cukup baik apabila hanya memenuhi
persyaratan-persyaratan filosofis/ideologis dan yuridis saja, karena peraturan
perundang-undangan itu juga harus berlaku secara sosiologis. Peraturan
perundang-undangan itu harus diberi waktu agar meresap dalam diri warga
masyarakat, dan sosialisasi perundang-undangan kerap dijadikan alat untuk
memberikan waktu kepada masyarakat untuk menerima aturan hukum yang terkandung
di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Namun demikian,
terkadang hukum melalui peraturan perundang-undangan tidak berhasil
mengusahakan, dan bahkan memaksakan, agar warga masyarakat menyesuaikan tingkah
lakunya pada aturan hukum yang telah diberlakukan. Jika hal ini terjadi, maka
hukum akan tertinggal apabila ia tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada
suatu tempat tertentu. Seseorang mengetahui hukum yang berlaku serta bagaimana
hukum mempengaruhi tingkah laku mereka setelah hukum itu diketahuinya. Hukum
mengalami proses pelembagaan dalam diri masyarakat atau bahkan tertanam dalam
jiwa mereka, dan dengan demikian hukum/peraturan perundang-undangan tersebut
akan semakin efektif pemberlakuannya. I.
Hukum
dan Berbagai Fungsinya dalam Masyarakat Secara praktis, hukum
di dalam masyarakat berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan konflik/sengketa
yang terjadi antar anggota masyarakat. Akan tetapi, fungsi hukum bukanlah
semata-mata alat penyelesaian sengketa semata. Hukum dalam masyarakat juga bisa
difungsikan dalam keadaan tanpa konflik sama sekali. Secara ringkas dapat
disebutkan bahwa hukum memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:[26] 1.
Hukum sebagai kontrol sosial (social control) Fungsi hukum sebagai kontrol sosial
bertujuan untuk memberikan suatu batasan tingkah laku masyarakat yang
menyimpang dan akibat yang harus diterima dari penyimpangan tersebut.
Penggunaan hukum sebagai kontrol sosial dapat berarti bahwa hukum itu mengawasi
tingkah laku masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dari aturan hukum itu,
dan agar setiap orang anggota masyarakat tidak melakukan perbuatan yang
dilarang oleh hukum. Misalnya, undang-undang anti korupsi dibuat agar anggota
masyarakat tidak melakukan usaha-usaha yang melawan hukum dengan tujuan
memperkaya diri sendiri atau golongannya. 2.
Hukum sebagai alat rekayasa sosial (a tool of social engineering) Sebagai alat rekayasa sosial, hukum
berfungsi untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat untuk menuju
kemajuan, menata kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan kepentingan
bersama. Misalnya, negara Indonesia membuat peraturan/undang-undang tentang hak
cipta, yang memungkinkan para pencipta lagu, buku dan hasil seni lainnya
terlindungi dari orang lain yang ingin mengambil keuntungan tanpa hak dari
hasil seni yang diciptakannya. 3.
Hukum sebagai simbol (a symbol) Fungsi hukum sebagai simbol adalah
sebagai salah satu upaya untuk mengkomunikasikan apa yang dimaksudkan oleh
pembuat undang-undang kepada warga masyarakat tentang suatu peristiwa secara
ringkas dan tegas, sehingga mempermudah pelaksanaan hukum dalam proses
sosialisasi hukum yang diberlakukan dalam masyarakat. Misalnya, seorang suami,
setelah mengasah parang, kemudian mendatangi istrinya dan selanjutnya memenggal
kepalanya. Maka oleh hukum disimbolkan secara langsung bahwa si suami telah
melakukan pembunuhan berencana terhadap si istri. 4.
Hukum sebagai alat politik (a political tool) Fungsi hukum sebagai alat politik
adalah untuk memperkuat kekuasaan politik untuk melaksanakan kekuasaan negara.
Keberadaan hukum dan politik sulit untuk dipisahkan, karena hukum sebagai
kaidah yang tertulis merupakan pesan-pesan politik, tetapi setelah ditetapkan
pemberlakuannya sebagai perundang-undangan, hukum tertulis itu tidak boleh lagi
ditafsirkan secara politik yang bermuatan kepentingan, melainkan harus
ditafsirkan secara yuridis. Misalnya, undang-undang antiterorisme pada awalnya
dibuat atas tekanan politis dari Amerika Serikat sebagai pelopor antiterorirsme
dunia. Akan tetapi setelah menjadi undang-undang, seluruh masyarakat Indonesia
harus melihat undang-undang antiterorisme itu sebagai larangan yang dibuat
hukum bagi siapa pun anggota masyarakat yang menjadi anggota dari suatu
organisasi yang mengancam kestabilan negara dan hak asasi manusia. 5.
Hukum sebagai sarana penyelesaian
sengketa (a means to settle
disputes/conflicts) Fungsi hukum juga bertujuan untuk
menyelesaikan setiap sengketa/konflik yang terjadi dalam masyarakat, baik
antara masyarakat dengan pemerintah maupun antara pemerintah dengan individu. 6.
Hukum sebagai sarana pengendalian sosial
(a means of social control) Fungsi
hukum sebagai sarana pengendali sosial bertujuan untuk menganjurkan, mengajak,
menyuruh, bahkan memaksa warga masyarakat untuk mematuhi kaidah hukum yang
berlaku. Sarana pengendalian sosial dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: a. Bersifat
preventif, yaitu bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan stabilitas di dalam
masyarakat. b. Bersifat
represif, yaitu bertujuan mengembalikan keseimbangan yang telah mengalami
gangguan di dalam masyarakat. c. Bersifat
preventif-represif, yaitu selain bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan
dalam masyarakat, juga sekaligus untuk mengembalikan keseimbangan antara
stabilitas dan fleksibilitas dalam kehidupan masyarakat. [1] S.P.
Taneo, “Individu, Masyarakat dan Negara”, Artikel,
http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/Kajian%20IPS%20SD/BAC/Kajian_IPS_9_0.pdf, hal.4-6. [3] Mansyurdin,
Sosiologi, Suatu Pengenalan Awal,
Kelompok Studi UIKIM dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hal. 38. [5] Selo
Soemardjan dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi,
Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 22. [7] Periksa
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 30. [10] Periksa
Jurnal Tata Negara, “Pemikiran untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Prinsip
Keadilan dan Feminisme”, Artikel, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006, hal. 4. [14] Lihat
lebih lanjut dalam E. Utrecht, Pengantar
dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal. 1. [19] Soerjono
Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum
dalam Masyarakati, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 36. [20] Bernard
Arif Sidharta, Refleksi tentang Struktur
Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan
Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, Mandar Maju,
Bandung, 1999, hal. 80. [24] Ismansyah,
“Permasalahan Hukum dalam Pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia (Pentingnya
Reformasi Hukum Terkait dengan Permasalahannya)”, Artikel, http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/download/1418/1228.pdf, hal. 7. [26] Jaminuddin
Marbun, “Bagaimanakah Hukum yang Berkeadilan?”, Artikel, http://uda.ac.id/jurnal/-files/Jurnal%207%20%20BAGAIMANAKAH%20HUKUM%20YANG%20BERKEADILAN.pdf, hal.1-2.
7. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
8. Hak Cipta
9. Hak Paten
10. Hak Merek
11. Arbitrase Perdagangan di Indonesia
12. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
- Pengajar: R. Deddy Harryanto